Berduka Dan Meratap Bolehkan?

loading...
AkuIslam.ID - Nabi tak melarang orang berduka lantaran kematian orang yang dicintai. Tapi, Nabi melarang bila ia harus menangis sambil meratapinya.

Ilustrasi Sebuah Kematian

Kala itu, hari masih siang, Nabi Muhammad tengah asyik bersama sang bayi yang ia sayangi. Bersama Khadijah, ia selalu menyempatkan diri bermain dengan pujaan hatinya. Setelah dua anaknya, Qasim dan Tahir, dipanggil sang khalik, ia merasakan kasih sayang yang begitu besar kepada bayi itu.

Ia begitu menikmati karunia Allah kepadanya, Ia lalu memberi nama bayi itu Ibrahim.

Ibrahim merupakan jantung hati dan cindur mata bagi manusia pilihan itu. Di kala ia senggang, ia tak lupa menyempatkan waktu bersama bayinya itu. Setelah selesai berdakwah, mengurus berbagai masalah umat muslim, dan menunaikan kewajiban kepada Allah serta hak dan kewajiban kepada seluruh keluarga, hatinya merasa sejuk dengan melihat bayi yang sehat dan baik sekali pertumbuhannya itu.

Kini, bayi itu menginjak usia keenam belas bulan. Makin lama, Nabi merasakan makin jelas kesamaan antara dia dengan bayi itu; mulai dari wajah hingga beberapa organ lainnya.

Itulah karenanya, Nabi kian cinta dan sayang kepada anaknya itu. Sepanjang waktu itu, Ibrahim diasuh oleh Ummu Saif, perempuan yang menyusui dan memberikan susu kambing kepadanya.

Cinta Nabi kepada Ibrahim sebenarnya bukan karena suatu maksud pribadi yang ada hubungannya dengan risalah yang dibawanya, atau dengan orang yang akan menjadi penggantinya. Nabi, dengan imannya kepada Allah, tidak akan memikirkan anak ataupun siapa yang akan mewarisinya. Sebab, tugas kenabian bukanlah tugas keduniawian. Itu adalah tugas dan mandat dari Sang Rabb.

Bahkan, Nabi pernah berkata di hadapan para sahabat, "Kami para Nabi, tidak dapat diwarisi. Apa yang kami tinggalkan untuk sedekah." Ini adalah bukti penegasan bahwa risalah kenabiannya tidak diteruskan oleh anak-anaknya. Sebab, risalah kenabian itu akan berakhir seiring berakhirnya risalah yang ia emban. Ia adalah Nabi dan Rasul terakhir.

Meski begitu, rasa kasih manusiawi dalam arti yang luhur, rasa kasih insani yang begitu dalam dalam hati, membuatnya tetap seperti manusia pada umumnya. Ia begitu sayang dan cinta pada buah hatinya itu. Semua itu tidak akan dicapai oleh siapapun. Cinta kasihnya kepada Ibrahim telah terlukis dalam kehidupan manusia pilihan Ilahi itu.

KEPERGIAN IBRAHIM

Di usianya yang belia, Ibrahim kemudian jatuh sakit. Ia mengalami sakit yang sangat memprihatinkan. Ia dipindahkan ke sebuah kebun kurma di samping Masyrabat Um Ibrahim. Mariyah dan Sirin selalu menjaga dan merawatnya. Bayi itu tidak lama sakitnya. Tatkala ajal sudah dekat, Nabi kemudian diberi tahu tentang kondisi anaknya.

Dengan rasa sedih yang begitu mendalam, ia berjalan memegang tangan Abdur Rahman bin Auf sambil bertumpu kepadanya. Setelah ia sudah sampai di Masyrabat, dilihatnya Ibrahim yang sudah ada di pangkuan ibunya, Khadijah. Bayi itu tengah menghembuskan napasnya yang terakhir.

Lalu, diambilnya anak itu. Ia letakkan di pangkuannya dengan hati yang remuk redam. Tangannya menggigil. Kalbunya pilu. Sanubarinya mencekam. Raut wajahnya bersedih. Sambil meletakkan anak itu di pangkuan, ia lalu berkata, "Ibrahim, kami tidak dapat menolongmu dari kehendak Allah."

Dalam keadaan hening yang menyedihkan itu, air matanya berderai tak henti-hentinya. Sementara anak itu tengah meregang nyawa. Ia bernapas tersengal-sengal. Sang ibu dan Sirin menangis menjerit-jerit. Rasulullah membiarkannya begitu saja.

Setelah tubuh Ibrahim tiada bergerak lagi, tak bernyawa, cahaya di hati Nabi tiba-tiba padam, dan air matanya kian deras mengucur. Nabi berkata, "Oh Ibrahim kalau bukan karena soal kenyataan, dan janji yang tak dapat dibantah lagi, kami yang kemudian akan menyusul orang yang sudah lebih dahulu dari kami, tentu akan lebih lagi kesedihan kami dari ini," Ia pun diam sejenak. Ia memperhatikan orang-orang di sekelilingnya yang juga ikut bersedih dan merintih.

Setelah itu, manusia pilihan Sang Rabb itu berkata lagi," Mata boleh bercucuran, hati boleh berduka, tetapi kami hanya berkata apa yang menjadi kehendak Allah. Dan kami, oh Ibrahim, sungguh sedih terhadapmu."

Kaum muslim yang menyaksikan peristiwa itu merasakan duka yang mendalam. Mereka meratapi kepergian Ibrahim. Mereka juga sangat menyayangi Ibrahim seperti halnya Nabi menyayangi dia. Kemudian, diantara mereka ada yang melarang kaum muslim bersedih.

Diantara mereka kemudian berusaha untuk mengurangi rasa sedih itu dengan mengingatkan agar tidak merasa sedih dengan kepergian Ibrahim.

Nabi kemudian berkata, "Saya tidak melarang orang bersedih. Tetapi, yang saya larang adalah meratapi dengan suara keras. Apa yang kalian lihat pada saya sekarang adalah pengaruh cinta dan kasih sayang di dalam hati. Orang yang tiada menunjukan kasih sayangnya, maka orang lain pun tidak akan menunjukkan kasih sayang kepadanya."

Riwayat lain menyebutkan bahwa setelah Nabi menyaksikan anaknya telah tiada, ia mencoba menahan rasa duka yang ia alami. Ia memandang Mariyah dan Sirin dengan pandangan penuh kasih. Kepada mereka, Nabi memintanya agar lebih tenang sambil berkata, "Ia (Ibrahim) akan mendapat inang pengasuh di surga."

Jasad Ibrahim kemudian dimandikan oleh Ummu Burdah. Sumber lain menyebutkan oleh Fadl bin Abbas. Jasadnya yang kecil itu lalu dibawa ke atas keranjang kecil sampai ke Baqi'. Di tempat itu ia dimakamkan setelah dishalatkan oleh Nabi.

Setelah pemakaman selesai, Nabi meminta supaya makam itu ditutup kemudian diratakan dengan tanah oleh tangannya sendiri. Ia memercikkan air dan memberi tanda di atas kuburan itu.

BERSEDIH VERSUS MERATAPI

Ada kesamaan antara sedih dan berduka dengan meratapi, yaitu sama-sama merasa kehilangan atas sesuatu yang ia sayangi. Dalam konteks ini, yang ditangisi adalah orang yang disayangi. Lantas, apa perbedaannya antara bersedih dengan meratapi?

Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, dua istilah ini memiliki perbedaan. Bersedih diartikan merasa sangat pilu di hati, bersusah hati atau berduka cita. Sementara meratapi adalah menangisi disertai ucapan yang menyedihkan dan mengeluh seperti menangis dan menjerit.

Jadi, perbedaannya terletak pada proses pengungkapan kehilangan itu. Bersedih hanya terasa di hati, sementara meratapi diekspresikan lewat ucapan dan keluhan sambih menangis kencang.

Dalam keterangan hadits, Nabi sering mengingatkan kepada umat Islam agar tidak meratapi orang yang sudah meninggal dunia. Rasulullah berkata, "Perbuatan seperti itu bukan dari petunjukku, berteriak-teriak seperti itu tidak benar. Hati memang bersedih, mata memang berlinang, namun kita tidak boleh mengucapkan perkataan yang membuat marah Rabb Azza wa Jalla." (HR Ibnu Hibban dan al-Hakim).

Rasulullah juga bersabda, "Empat perkara yang terdapat pada umatku yang termasuk perbuatan Jahiliyyah, yang tidak mereka tinggalkan; (1) membanggakan kebesaran leluhur; (2) mencela keturunan; (3) menisbatkan turunnya hujan kepada bintang-bintang; dan (4) meratapi mayit."

Lalu Nabi pun bersabda, "Wanita yang meratapi orang mati, apabila tidak bertaubat sebelum meninggal, akan dibangkitkan pada hari Kiamat dan dikenakan kepadanya pakaian yang berlumuran dengan cairan tembaga serta mantel yang bercampur dengan penyakit gatal," (HR Muslim).

from Aku Islam I Berbagi Kebaikan Untuk Sesama http://ift.tt/2DhX8WW
Sumber KLIK Di Sini atau http://www.akuislam.id/
loading...

0 Response to "Berduka Dan Meratap Bolehkan?"

Posting Komentar

Silahkan anda berkomentar dan juga memberikan kritik untuk perbaikan blog ini. Maaf, Komentar yang tidak berhungungan dengan artikel atau hanya pengen beriklan, akan dihapus. Komentar langsung tayang.