loading...
Selfie merupakan istilah kekinian untuk penyebutan pengambilan foto yang diambil sendiri. Fenomena ini telah berkembang seiring popularitas media sosial dan kecanggihan perangkat gadget yang dilengkapi dengan kamera.
Saat ini selfie menjadi hobi baru, bahkan tidak lagi wajar bagi kalangan-kalangan tingkat ekstrim. Sebut saja orang-orang yang meninggal akibat mencari pose terbaik mereka, malangnya nasib bunga Amaryllis, serta yang terbaru robohnya jembatan hutan kota di Aceh dan rusaknya taman bunga di Kebun Raya Baturaden.
Meski tidak tertulis dalam Alquran dan hadist tentang hukum selfie, namun sebagai umat Islam baiknya mencermati terlebih dahulu jika ingin turut serta dalam euforia ini. Lantas seperti apa Agama Islam memandang fenomena yang berkembang beberapa tahun belakangan tersebut? Apakah selfie diperbolehkan dalam kajian Islam?
Baca berita yang tak kalah unik dan seru :
Karena hebohnya Selfie atau singkatan dari self potrait ini, akhirnya pada tahun 2013 kampus Oxford resmi memasukkan kata ini dalam kamus mereka. Dr Mariann Hardey, seorang pengajar di Durham University dengan spesialisasi digital social media mengatakan, Selfie merupakan salah satu revolusi bagaimana seorang manusia ingin diakui oleh orang lain dengan memajang atau sengaja memamerkan foto tersebut ke jejaring sosial atau media lainnya. Dengan memamerkan foto sendiri, seseorang akan mengganggap dirinya bernilai, terlebih jika ada yang memberi like atau berkomentar bagus pada foto tersebut.
Dari penjelasan di atas jelas, bahwa selfie akan menimbulkan sifat Riya atau ingin dipuji orang lain dan sifat ujub atau mengagumi diri sendiri. Rasulullah SAW dalam hadistnya melarang keras orang yang bertindak dua perilaku tersebut. Bahkan, Rasulullah menyebutnya sebagai dosa besar yang membinasakan pelakunya.
“Tiga dosa pembinasa: sifat pelit yang ditaati, hawa nafsu yang dituruti, dan ujub seseorang terhadap dirinya” (HR. Thabrani dari Anas bin Malik).
“Sesungguhnya Allah mencintai hamba yang bertaqwa, yang berkecukupan, dan yang tidak menonjolkan diri.” (HR. Muslim dari Abu Said al-Khudri).
Bersefie tanpa mempublikasikannya tentu tidak menimbulkan masalah. Namun jika sudah mempostingnya ke sosial media, maka dipastikan ada maksud tersembunyi dari tindakan itu. Anda pasti menginginkan like, atau sekedar komentar “Duh manisnya, wah indah pemandangannya” dan komentar lainnya yang dapat menurunkan sikap rendah hati anda.
Buktinya, selfie bisa menyebabkan penyakit depresi Facebook (Facebook despression),yakni penyakit kejiwaan yang membuat seseorang merasa diabaikan setelah menulis status atau mengunggah foto karena tidak ada “like” dan/atau “komentar” dari siapa pun. Pernahkah anda merasakannya?
Sebagian ada yang setuju, atau langsung bilang “apa-apa Islam selalu melarang dan tidak mengikuti perkembangan teknologi” dll, namun harus dipahami bahwa jika selfie itu baik, fenomena ini tentu tidak akan menimbulkan huru-hara dan dampak sosial lainnya.
Saat ini selfie menjadi hobi baru, bahkan tidak lagi wajar bagi kalangan-kalangan tingkat ekstrim. Sebut saja orang-orang yang meninggal akibat mencari pose terbaik mereka, malangnya nasib bunga Amaryllis, serta yang terbaru robohnya jembatan hutan kota di Aceh dan rusaknya taman bunga di Kebun Raya Baturaden.
Meski tidak tertulis dalam Alquran dan hadist tentang hukum selfie, namun sebagai umat Islam baiknya mencermati terlebih dahulu jika ingin turut serta dalam euforia ini. Lantas seperti apa Agama Islam memandang fenomena yang berkembang beberapa tahun belakangan tersebut? Apakah selfie diperbolehkan dalam kajian Islam?
Baca berita yang tak kalah unik dan seru :
- Edan ! Inilah 5 Ilmuan Paling Gila Di Dunia
- Empat Keistimewaan di Balik Kalimat Istighfar
- 5 Permintaan Terpidana Mati Paling Aneh Di Dunia
Sumber : infoyunik.com
Karena hebohnya Selfie atau singkatan dari self potrait ini, akhirnya pada tahun 2013 kampus Oxford resmi memasukkan kata ini dalam kamus mereka. Dr Mariann Hardey, seorang pengajar di Durham University dengan spesialisasi digital social media mengatakan, Selfie merupakan salah satu revolusi bagaimana seorang manusia ingin diakui oleh orang lain dengan memajang atau sengaja memamerkan foto tersebut ke jejaring sosial atau media lainnya. Dengan memamerkan foto sendiri, seseorang akan mengganggap dirinya bernilai, terlebih jika ada yang memberi like atau berkomentar bagus pada foto tersebut.
Dari penjelasan di atas jelas, bahwa selfie akan menimbulkan sifat Riya atau ingin dipuji orang lain dan sifat ujub atau mengagumi diri sendiri. Rasulullah SAW dalam hadistnya melarang keras orang yang bertindak dua perilaku tersebut. Bahkan, Rasulullah menyebutnya sebagai dosa besar yang membinasakan pelakunya.
“Tiga dosa pembinasa: sifat pelit yang ditaati, hawa nafsu yang dituruti, dan ujub seseorang terhadap dirinya” (HR. Thabrani dari Anas bin Malik).
“Sesungguhnya Allah mencintai hamba yang bertaqwa, yang berkecukupan, dan yang tidak menonjolkan diri.” (HR. Muslim dari Abu Said al-Khudri).
Bersefie tanpa mempublikasikannya tentu tidak menimbulkan masalah. Namun jika sudah mempostingnya ke sosial media, maka dipastikan ada maksud tersembunyi dari tindakan itu. Anda pasti menginginkan like, atau sekedar komentar “Duh manisnya, wah indah pemandangannya” dan komentar lainnya yang dapat menurunkan sikap rendah hati anda.
Buktinya, selfie bisa menyebabkan penyakit depresi Facebook (Facebook despression),yakni penyakit kejiwaan yang membuat seseorang merasa diabaikan setelah menulis status atau mengunggah foto karena tidak ada “like” dan/atau “komentar” dari siapa pun. Pernahkah anda merasakannya?
Sebagian ada yang setuju, atau langsung bilang “apa-apa Islam selalu melarang dan tidak mengikuti perkembangan teknologi” dll, namun harus dipahami bahwa jika selfie itu baik, fenomena ini tentu tidak akan menimbulkan huru-hara dan dampak sosial lainnya.
loading...