Inilah 6 Bukti Orang Indonesia Tak Paham Makna Bhinneka Tunggal IKA, Coba Teliti

loading...
Bangsa yang besar adalah bangsa yang mau dan mampu belajar dari sejarah masa lampau. Namun, itu rupanya belum bisa terlaksana sepenuhnya di Indonesia yang terkenal dengan keanekaragaman budayanya. Sebaliknya, perbedaan suku, agama, ras, dan etnis di Indonesia seakan membuat negeri ini semakin sulit disatukan.

Bukannya menengok ke belakang dan belajar dari kesalahan masa lalu. Bangsa ini justru berulang kali melakukan kesalahan yang sama. Padahal para pendiri bangsa sudah berusaha mengusung semboyan Bhinneka Tunggal Ika, yang berarti berbeda-beda tapi tetap satu jua. Jika masyarakat Indonesia selalu mendahulukan semboyan tersebut, tentunya kasus-kasus tragis yang beraroma SARA ini tidak akan terjadi.

Kerusuhan Sambas

Kerusuhan beraroma SARA menjadi kasus yang cukup sering terjadi di Indonesia. Salah satu kerusuhan terbesar yang pernah terjadi akibat perselisihan antar etnis adalah Kerusuhan Sambas. Bentrokan berdarah ini terjadi sekitar tujuh kali sejak 1970, namun yang terakhir berlangsung pada tahun 1999.

Pada tahun 1999, pecahlah kerusuhan terbesar di antara suku Dayak dan oknum-oknum pendatang dari Madura. Bentrokan itu mau tak mau membuat keturunan Madura yang sudah bermukim di Sambas sejak awal 1900-an ikut menanggung dosa para perusuh. Akibat dari kerusuhan ini, puluhan ribu warga Madura juga terpaksa mengungsi.

Kerusuhan Tanjungbalai

Baru-baru ini, Indonesia dikejutkan dengan sebuah kerusuhan besar yang terjadi di Tanjungbalai, Sumatera Utara. Dalam kerusuhan ini, ratusan massa berbondong-bondong membakar dan merusak sejumlah vihara dan klenteng di kota tersebut. Peristiwa berbau SARA ini awalnya dipicu oleh protes seorang warga Tionghoa tentang azan masjid di Jalan Karya, Tanjung Balai.

Selain itu, polisi juga menyebut bahwa postingan provokatif di media sosial juga ditengarai ikut andil dalam memanaskan suasana di Tanjungbalai. Oleh karenanya, polisi kini sedang memburu orang-orang yang sengaja menyebar tulisan-tulisan provokatif di medsos yang turut memicu kerusuhan tersebut. Beruntung tidak ada korban jiwa dalam kerusuhan ini. Meski demikian, kerugian materi yang diakibatkan oleh kerusuhan ini tentu tidak sedikit.

Kerusuhan di Aceh Singkil

Kerusuhan yang pecah di Kabupaten Aceh Singkil, Provinsi Aceh, pada 2015 lalu menjadi bukti kalau toleransi di negeri ini sangatlah tipis. Dalam kerusuhan tersebut, satu orang tewas dan tujuh lainnya luka-luka. Insiden ini awalnya dipicu oleh permintaan umat Islam di Aceh untuk mengurangi jumlah undung-undung – rumah peribadatan kecil – di Desa Suka Makmur.

Sementara pihak gereja sendiri merasa keberatan dengan permintaan itu, sebab jumlah jemaat Kristen di desa tersebut semakin meningkat. Ditolaknya permintaan tersebut kemudian memicu aksi demo yang berujung anarkis. Ada sekitar 700 orang mendatangi sebuah gereja di Desa Suka Makmur, Aceh Singkil. Mereka kemudian membakarnya. Dan polisi cukup kesulitan untuk menghadang massa karena sebagian besar membawa senjata tajam.

Kerusuhan Tolikara

Dalam insiden berdarah ini, sedikitnya dua orang tewas dan 95 rumah dibakar. Kerusuhan yang dipicu konflik antar masyarakat ini pecah di Kabupaten Tolikara, Provinsi Papua. Sejumlah lahan pertanian juga ditemukan rusak, dan banyak hewan ternak dijarah dalam kerusuhan ini. Bentrokan antar masyarakat ini tepatnya terjadi antara warga di Distrik Gika dan Distrik Panaga.

Keduanya bahkan saling menggalang kekuatan dengan menghubungi warga-warga di distrik lain yang masih memiliki ikatan kekerabatan. Sebelumnya tetua adat dari masing-masing distrik sudah bertemu untuk menjalin perdamaian, tapi masyarakat setempat tampaknya masih menyimpan dendam antar satu sama lain. Akar dari perselisihan ini awalnya dipicu oleh kecemburuan terhadap pembagian dana bantuan pemerintah. Namun, ada pihak lain yang mengatakan jika penyebab kerusuhan ini adalah masalah perzinahan dan dendam lama dua distrik tersebut.

Perang Suku di Timika

Perang antar suku di Papua memang bukan hal baru. Pada bulan Mei lalu, misalnya, terjadi bentrokan berdarah di Distrik Kwamki Narama, Timika, Papua. Dalam insiden tersebut, satu orang tewas terkena anak panah. Bentrokan ditengarai disulut perselisihan lama antara warga Osea Ongomang dari Kampung Atas dan warga Atimus Komangal dari Kampung Bawah.

Meski bala tentara telah diturunkan untuk mengamankan daerah konflik, kondisi di Timika masih belum benar-benar aman. Ini karena kedua kelompok masih saling serang, baik itu secara verbal atau pun fisik. Untuk mencegah kerusuhan yang lebih besar, pihak berwajib terus mendorong mediasi antar kedua kampung melalui tokoh adat setempat.

Konflik Antar Suku di Lampung

Lampung adalah sebuah provinsi paling selatan di Pulau Sumatera. Provinsi ini bisa dibilang sangat istimewa karena dihuni oleh banyak suku. Ini karena sejak zaman dahulu, Belanda telah menjadikan Lampung sebagai salah satu daerah tujuan transmigrasi di Indonesia. Itulah kenapa jumlah suku asli Lampung lebih sedikit daripada suku-suku pendatang.

Karena tingkat keberagaman di Lampung sangat tinggi, risiko gesekan antar suku pun menjadi cukup besar. Pada Desember 2010 lalu, misalnya, terjadi bentrokan antara suku Jawa/Bali melawan suku Lampung. Insiden itu dikatakan dipicu oleh kasus pencurian ayam. Sementara pada September 2011, pecah perang antar suku Jawa dan suku Lampung.

Kasus-kasus di atas menjadi bukti bahwa masyarakat Indonesia belum benar-benar paham tentang semboyan Bhinneka Tunggal Ika. Artinya, keberagaman di bumi pertiwi masih dipandang sebagai suatu ancaman, dan bukannya sebagai sebuah kebanggan yang bisa mempersatukan bangsa.


#Baca juga artikel / berita lainnya berikut ini  :

loading...